Mengupas tentang dunia spiritual dan lelaku didalamnya, sebagai warisan dari para leluhur. Tentang : tenaga dalam, daya prana, metafisika, penyembuhan dan Mbabar jiwa ma'rifat jati

Larungan, Larung Sesaji

Larungan di Telaga Ngebel Ponorogo.

Masyarakat Jawa memiliki berbagai cara dalam mengungkapkan rasa syukur mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Salah satunya adalah dengan menggelar upacara atau ritual larung saji atau larung sesaji.

Ritual ini merupakan bentuk sedekah alam yang dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rejeki terutama dalam bentuk hasil bumi bagi masyarakat.

Selain itu, upacara ini juga dimaksudkan sebagai bentuk permohonan rejeki dan keselamatan.

Upacara larung saji ini dapat ditemukan di berbagai daerah di pulau Jawa terutama di daerah yang berdekatan dengan pantai, misalnya daerah Blitar, Pacitan, Banyuwangi dan Madura. Waktu pelaksanaannya sendiri berbeda-beda, tergantung dari kepercayaan masyarakat sekitar. Sebagai contoh, di daerah Banyuwangi, Jawa Timur, ritual larung saji (masyarakat Banyuwangi menyebutnya sebagai upacara petik laut) dilakukan pada hari rabu terakhir pada bulan Sapar.

Masyarakat mempercayai bahwa hari tersebut merupakan hari turunnya wabah penyakit dan bencana, sehingga diharapkan ritual petik laut yang dilakukan akan menghalau bencana yang ada.

Inti dari upacara larung saji ini adalah melarungkan atau menghanyutkan sesaji yang terbuat dari bahan-bahan hasil bumi masyarakat sekitar. Pada umumnya, sesaji yang akan dilarungkan berupa Tumpeng Agung atau tumpeng berukuran besar setinggi 1 hingga 1,5 meter yang terbuat dari beras putih atau beras merah.

Tumpeng ini kemudian dihias dan dilengkapi dengan berbagai jenis buah dan sayuran serta hasil bumi masyarakat sekitar seperti pepaya, pisang, kacang panjang, ketela dan berbagai hasil bumi lainnya. Sesaji tersebut diatur dan ditata diatas anyaman bambu yang nantinya akan dilarungkan ke laut. Selain sesaji dalam bentuk makanan dan hasil bumi, sering juga disertakan kelengkapan ritual lainnya berupa kepala sapi.

Ritual ini dimulai dengan melakukan selamatan yang dipimpin oleh para sesepuh desa. Setelah itu, sesaji tersebut akan diarak dari tempat sesaji menuju ke pinggir laut. Sesampainya dipinggir laut, sesaji tersebut akan diserahkan kepada sekelompok nelayan yang bertugas melarungkan sesaji tersebut.

Sesaji ini diletakkan diatas perahu, kemudian dibawa hingga ke tengah laut sebelum akhirnya dilepaskan dan dibawa oleh ombak menuju samudra luas.

Proses pelepasan sesaji ini pada umumnya tidak dilakukan sendiri. Masyarakat sekitar biasanya turut menyertai pelepasan sesaji di tengah laut dengan menggunakan perahu nelayan yang telah dihias seindah mungkin, yang membuat prosesi ini menjadi lebih meriah.

Saat ini ritual larung saji bukan hanya menjadi sebuah tradisi belaka, melainkan juga telah menjadi daya tarik wisata tersendiri.

Setiap tahunnya, prosesi larung saji mampu menarik ratusan wisatawan baik yang berasal dari daerah sekitar hingga wisatawan yang berasal dari luar negeri sehingga tidak heran bila pemerintah daerah setempat seperti di daerah Blitar, menjadikan ritual larung saji ini sebagai salah satu agenda tahunan yang akan dihadiri oleh Bupati dan segenap pimpinan daerah.


Bagaimana di Pulau Dewata ( Bali )

Meraih Kesucian Diri Menjelang Nyepi dalam Upacara Melasti, Tahun baru Saka bagi umat Hindu Bali merupakan kesempatan untuk memulai kembali kehidupan dengan hati yang suci.

Melalui ritual amati geni pada Hari Raya Nyepi, setiap umat Hindu pada hakikatnya mendapat kesempatan untuk mengevaluasi capaian hidupnya selama satu tahun yang lalu dan menyusun ulang rencana hidup satu tahun mendatang.

Mendahului tahapan tersebut, pada 2 sampai 4 hari menjelang Nyepi, masyarakat Hindu Bali melakukan ritual pensucian diri dan lingkungannya. Ritual tersebut dinamakan upacara melasti.

Upacara melasti atau melelasti dapat didefinisikan sebagai nganyudang malaning gumi ngamet tirta amerta, yang berarti menghanyutkan kotoran alam menggunakan air kehidupan. Dalam kepercayaan Hindu, sumber air seperti danau dan laut dianggap sebagai asal tirta amerta atau air kehidupan.

Sumber-sumber air tersebut memberikan kehidupan bagi seluruh makhluk hidup, termasuk umat manusia. Karena itulah, upacara melasti selalu diadakan di tempat-tempat khusus seperti tepi pantai atau tepi danau.

Dalam upacara ini, masyarakat akan datang secara berkelompok ke sumber-sumber air seperti danau dan laut. Setiap kelompok atau rombongan berasal dari satu kesatuan wilayah yang sama, semisal dari banjar atau desa yang sama.

Setiap rombongan tersebut akan datang dengan membawa perangkat-perangkat keramat peribadahan, yaitu arca, pratima, dan pralingga dari pura yang ada di wilayah masing-masing untuk disucikan. Setiap anggota masyarakat juga menyiapkan sesajian sesuai kemampuan masing-masing.

Sajian ini merupakan bagian dari pelengkap upacara melasti. Sebelum pelaksanaan ritual, biasanya panitia dari tiap rombongan (banjar atau desa) akan menyediakan sebuah meja atau panggung yang diposisikan membelakangi laut atau danau. Meja ini merupakan tempat untuk meletakkan berbagai perangkat suci peribadahan dari pura beserta beraneka jenis sesajian.

Seluruh anggota rombongan kemudian duduk bersila menghadap ke arah jajaran perangkat ibadah dan sesajian tersebut, sekaligus menghadap ke sumber air suci. Pemuka agama (pemangku) setempat kemudian akan memimpin berjalannya prosesi upacara.

Para pemangku berkeliling dan memercikkan air suci kepada seluruh anggota masyarakat yang hadir serta perangkat-perangkat peribadatan dan menebarkan asap dupa sebagai wujud pensucian.

Selanjutnya, dilakukan ritual persembahyangan (panca sembah) oleh seluruh anggota rombongan. Para pemangku lalu akan membagikan air suci dan bija (beras yang telah dibasahi air suci).

Air suci tersebut untuk diminum sementara bija akan dibubuhkan ke dahi setiap umat yang datang. Selepas prosesi tersebut, perangkat-perangkat peribadahan diarak kembali ke pura untuk menjalani beberapa tahapan ritual yang lain.

Untuk menjaga ketertiban pelaksanaan upacara melasti, barisan pecalang (polisi adat) mengatur waktu pelaksanaan yang berbeda bagi setiap daerah (banjar). Hal ini dilakukan agar masing-masing daerah dapat melaksanakan ritual dengan khidmat dan optimal.

Karena itu, sepanjang hari keempat hingga hari kedua sebelum Nyepi, di seluruh Bali akan terlihat rombongan masyarakat dengan pakaian sembahyang yang datang silih berganti ke tepi pantai atau danau.(**)


Sumber : dari berbagai sumber



0 Response to "Larungan, Larung Sesaji"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel