Mengupas tentang dunia spiritual dan lelaku didalamnya, sebagai warisan dari para leluhur. Tentang : tenaga dalam, daya prana, metafisika, penyembuhan dan Mbabar jiwa ma'rifat jati

Pancasona | Berikut Silsilah Pawadiman Djojodigdo dan Kisah Ajian Pancasona serta Makam Gantungnya di Blitar

Diceritakan, saat berkecamuknya perang Diponegoro di Pulau Jawa, seorang bangsawan laki-laki lahir di Barat Yogyakarta pada tanggal 28 Juli 1827 dan diberi nama Pawadiman Djojodigdo.

Ayahnya bernama Raden Tumenggung Kartodiwiryo yang menjabat sebagai Adipati di Nggetan Kulon Progo. Pada masa itu Kulon Progo adalah basis terkuat perlawanan Pangeran Diponegoro sehingga tentu saja sang Tumenggung memihak Pangeran Yogyakarta dan ikut bergerilya.

Saat sang Pangeran Diponegoro tertangkap berakhirlah karir Kartodiwiryo sebagai Adipati. Anaknya, Djojodigdo pada akhirnya menjadi pribadi yang mandiri. Di usianya yang masih belasan tahun Djojodigdo sudah mengerjakan tirakat dan tapa brata yang rutin dilakukanya hingga ia beranjak dewasa.

Sesuatu yang umum dilakukan orang-orang Jawa pada masa itu. Karena kegigihanya itu, konon salah satu ilmu kanuragan yang dikuasainya adalah ilmu yang tidak umum dikuasai oleh orang-orang pada masa itu yakni Ajian Pancasona.

Ajian Pancasona ini dikenal juga dengan ilmu Rawa Rontek. Ilmu ini adalah ilmu kuno nan legendaris yang tidak mudah didapatkan oleh seseorang bahkan meski ia sudah melakukan berbagai laku batin yang amat sulit.

Konon seseorang yang memiliki Ajian Pancasona disebut akan hidup kembali walau sudah dinyatakan mati. Bagaimanapun jalan matinya ia akan tetap hidup kecuali ia menginginkan untuk mati dan melepaskan Ajian Pancasona itu dengan ikhlas seikhlas ikhlasnya.

Selain itu seseorang dengan ajian ini dikatakan hanya akan mati jika tubuhnya dipisah menyebrangi sungai dan digantung agar tidak menyentuh tanah. Jika jasatnya menyentuh tanah bagian-bagian tubuh tersebut dapat kembali bersatu dan orang yang memiliki ajian ini akan hidup kembali.

Djojodigdo tentu saja memiliki guru spiritual. Dua gurunya yang terkemuka berasal dari padepokan atau pertapan Gunung Kawi Malang yang juga masih keturunan PangeranDiponegoro yakni Eyang Sajugo yang mempunyai nama asli Raden Mas Suryo Diatmojo putra Ulama besar Keraton Yogyakarta Kanjeng Kyai Zakaria, sementara satunya lagi Bentoro Raden Mas Imam Sujono Bangsawan Yogyakarta yang juga memihak Pangeran Diponegoro dan lantas menyingkir bersama-sama Eyang Sajugo Kepadepokannya di Gunung Kawi.

Di pertapaan lereng Gunung Kawi inilah Djojodigdo mendalami berbagai ilmu dan pengetahuan. Seiring berjalanya waktu jalan hidup membawanya ke Blitar. Konon pada masa itu Blitar daerah yang wingit bukan karena aryanya masih angker, namun karena munculnya pembegalan yang dipimpin orang-orang berilmu kanuragan tinggi.

Mereka sulit diatasi dan menjalankan aksi-aksinya nyaris tanpa halangan berarti. Meski korbannya dikawal oleh kaum Peguron yang memiliki keahlian bela diri dan mampu melawan beberapa orang sekaligus, namun mereka pasti selesai saat ditangani oleh pimpinan begal yang Tedas Tapak Paluning Pandhe Sisaning Gurinda.

Bupati Blitar Kanjeng Adipati Warso Kusumo resah kenyamanan di daerah tanggung jawabnya terganggu. Di tengah keresahan ini Djojodigdo menghadap dan memberanikan diri untuk menyelesaikan permasalahan yang juga meresahkannya.

Penanganan yang dilakukan Djojodigdo membuat aksi-aksi pembegalan di wilayah Blitar pada akhirnya perlahan berhenti. Tidak ada lagi yang berani beraksi di sana.

Terutama karena isu sangat kuat berhembus di kalangan pimpinan para pembegal bahwa mereka menghadapi seorang yang memiliki Ajian Pancasona yang artinya perlawanan mereka akan sia-sia dan bahkan menjadi bomerang jika tetap menghadapi utusan Bupati Blitar ini.

Namun yang paling membuat Bupati Blitar kagum dalam suatu peristiwa Djojodigdo juga mampu menahan lahar Gunung Kelud yang mengarah ke Blitar dengan pusaka sakti yang dimilikinya yakni Pecut Samandiman.

Saat lahar Kelud datang dari arah utara mengalir cepat menuju Pendopo Agung, Djojodigdo menyungsungnya sambil melecutkan Pecut Samandiman. Suaranya menggelegar sampai angkasa dan lahar terbelah menjadi dua sehingga amanlah pusat kota dan terutama Pendopo Ageng.

Belakangan Pecut Samandiman ini dimiliki oleh bupati Blitar ke tiga yakni Kanjeng Pangeran Haryo Sosro Hadi Negoro. Namun sejak itu tidak ada lagi yang mengetahui dimana keberadaan selanjutnya.

Atas kemampuannya dalam menyelesaikan masalah, pada tanggal 8 September 1877 Bupati Blitar Warso Kusumo kemudian mengangkat Raden Mas Ngabehi Pawadiman Djojodigdo sebagai Patih Blitar.

Sang Bupati sangat terkesan oleh kesaktian yang dimilikinya dan Djojodigdo juga cakap menangani masalah-masalah admistrasi. Piawainya dalam tata pemerintahan diduga turun dari Ayahnya Karto Diwiryo yang pernah menjadi Adipati Kulon Progo.

Nama dan kewibawaan Patih Djojodigdo itu menjadi terkemuka di wilayah Blitar hingga Jawa Timur. Selama hidupnya Djojodigdo mempunyai empat istri dengan anak sebanyak 32 orang.

Setelah sekian lama perjalanan hidupnya, Djojodigdo merasa waktunya telah tiba. Pada usia 82 tahun Djojodigdo telah ikhlas melepaskan segalanya termasuk keluarga dan berbagai ajian yang dimilikinya.

Dia bersiap bertemu Sang Pencipta. Namun setiap kali jasatnya menyentuh tanah Djojodigdo kembali hidup. Hal ini terjadi berkali-kali hingga akhirnya dalam hening Djojodigdo bertemu dua guru yang telah mendahuluinya ke alam kelanggengan.

Perwujudan ghaib dua gurunya itu melepaskan sesuatu yang sangat Supranatural dan menghalangi perjalanannya. Djojodigdo pun wafat dalam damai pada tanggal 11 Maret 1909.

Banyak orang mempersepsikan jika jasat Patih Djojodigdo dimakamkan secara menggantung alias tidak menyentuh tanah karena memiliki Ajian Pancasona. Namun pada kenyataanya tidak demikian, Patih Djojodigdo dimakamkan dengan cara sewajarnya seperti manusia biasa.

Segala ajiannya telah dilepaskan dan tidak ada yang menghalangi perjalanan selanjutnya. Hanya saja di atas pusaranya digantung kotak berbentuk empat payung semacam mahkota. Di tempat inilah konon tersimpan sesuatu yang sangat supranatural dan menggetarkan walau tak kasat mata.

Sebagai tokoh yang dianggap memiliki kedigdayaan tidak biasa keberadaan. Makam Gantung Patih Djojodigdo ini tentu saja menarik minat kalangan spiritual.(**)

NB : Mohon maaf bila mana ada kesalahan tulisan, kekeliruan informasi dan bila berkenan silahkan di lengkapi di kolom komentar.

0 Response to "Pancasona | Berikut Silsilah Pawadiman Djojodigdo dan Kisah Ajian Pancasona serta Makam Gantungnya di Blitar"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel