Mengupas tentang dunia spiritual dan lelaku didalamnya, sebagai warisan dari para leluhur. Tentang : tenaga dalam, daya prana, metafisika, penyembuhan dan Mbabar jiwa ma'rifat jati

Dewi Sri, Dari Cerita dan Mitos yang Berkembang di Masyarakat dulu hingga sekarang

Ilustrasi Suasana upacara masyarakat panen padi dan ucap syukur. (Sumber : wikipedia).

Dewi Sri atau Dewi Shri (Bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (Bahasa Sunda), adalah dewi pertanian, dewi padi dan sawah, serta dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan dan pemujaan terhadapnya berlanjut sejak masa pra-Hindu dan pra-Islam di pulau Jawa.

Dewi Sri dipercaya sebagai dewi yang menguasai ranah dunia bawah tanah juga bulan. Perannya meliputi segala aspek Dewi Ibu, yakni sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. Beliau juga dapat mengendalikan bahan makanan di bumi terutama padi: bahan makanan isi warga Indonesia; maka beliau mengatur kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran. Berkahnya terutama panen padi yang berlimpah dan dimuliakan sejak masa kerajaan kuno di pulau Jawa seperti Majapahit dan Pajajaran.

Dewi Sri juga mengendalikan segala kebalikannya yaitu ; kemiskinan, bencana kelaparan, hama penyakit, dan hingga batas tertentu, memengaruhi kematian. Karena beliau merupakan simbol bagi padi, beliau juga dipandang sebagai ibu kehidupan. Seringkali beliau dihubungkan dengan tanaman padi dan ular sawah.


Cerita / Mitos yang berkembang tentang Dewi Sri

Banyakan kisah mengenai Dewi Sri terkait dengan mitos asal mula terciptanya tanaman padi, bahan pangan utama di kawasan ini. Berikut ini adalah salah satu kisah mengenai Dewi Sri sebagai dewi padi sesuai "Wawacan Sulanjana".

Dahulu kala di Kahyangan, Batara Guru yang menjadi penguasa tertinggi kerajaan langit, memerintahkan segenap dewa dan dewi untuk bergotong-royong, menyumbangkan tenaga untuk membangun istana baru di kahyangan. Siapapun yang tidak menaati perintah ini dianggap pemalas, dan akan dipotong tangan dan kakinya.

Mendengar titah Batara Guru, Antaboga (Anta) sang dewa ular sangat cemas. Betapa tidak, beliau samasekali tidak memiliki tangan dan kaki untuk melakukan pekerjaan. Jika harus dihukum pun, tinggal lehernyalah yang dapat dipotong, dan itu berfaedah kematian. Anta sangat ketakutan, selanjutnya beliau memohon segala sesuatu yang diajarkan Batara Narada, saudara Batara Guru, mengenai masalah yang dihadapinya. Tetapi sayang sekali, Batara Narada pun bingung dan tak dapat menemukan cara untuk membantu sang dewa ular. Putus asa, Dewa Anta pun menangis terdesu-sedu meratapi betapa buruk nasibnya.

Akan tetapi ketika tetes cairan mata Anta jatuh ke tanah, dengan aneh tiga tetes cairan mata berubah menjadi mustika yang berkilau-kilau bagai permata. Butiran itu sesungguhnya adalah telur yang memiliki cangkang yang indah. Barata Narada menyarankan supaya butiran mustika itu dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai susunan permohonan supaya dia memahami dan mengampuni kekurangan Anta yang tidak dapat ikut melakukan pekerjaan membangun istana.

Dengan mengulum tiga butir telur mustika dalam mulutnya, Anta pun berangkat menuju istana Batara Guru. Di tengah perjalanan Anta bertemu dengan seekor burung gagak yang selanjutnya menyapa Anta dan menanyakan kemana beliau akan pergi. Karena mulutnya penuh berisi telur Anta hanya diam tak dapat menjawab pertanyaan si burung gagak. Sang gagak mengira Anta sombong sehingga beliau amat tersinggung dan marah.

Burung hitam itu pun menyerang Anta yang panik, ketakutan, dan kebingungan. Hasilnya sebutir telur mustika itu pecah. Anta segera bersembunyi di balik semak-semak menunggu gagak pergi. Tetapi sang gagak tetap menunggu hingga Anta keluar dari rerumputan dan kembali mencakar Anta. Telur kedua pun pecah, Anta segera melata beringsut lari ketakutan menyelamatkan diri, kini hanya tersisa sebutir telur mustika yang selamat, utuh dan tidak pecah.

Berakhir Anta tiba di istana Batara Guru dan segera mempersembahkan telur mustika itu kepada sang penguasa kahyangan. Batara Guru dengan senang hati menerima persembahan mustika itu. Akan tetapi setelah mengetahui mustika itu adalah telur aneh, Batara Guru memerintahkan Anta untuk mengerami telur itu hingga menetas.

Setelah sekian lama Anta mengerami telur itu, maka telur itu pun menetas. Akan tetapi secara aneh yang keluar dari telur itu adalah seorang bayi perempuan yang sangat cantik, lucu, dan menggemaskan. Bayi perempuan itu segera dinaikkan anak oleh Batara Guru dan permaisurinya.

Nyi Pohaci Sanghyang Sri adalah nama yang diberikan kepada putri itu. Seiring waktu berlalu, Nyi Pohaci tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik luar biasa. Seorang putri yang berpihak kepada yang benar hati, lemah lembut, halus tutur kata, luhur budi bahasa, memikat semua insan. Setiap mata yang memandangnya, dewa maupun manusia, segera jatuh hati pada sang dewi.

Kesudahan suatu peristiwa kecantikan yang mengalahkan semua bidadari dan para dewi khayangan, Batara Guru sendiri pun terpikat kepada anak ambilnya itu. Diam-diam Batara guru menyimpan hasrat untuk mempersunting Nyi Pohaci. Melihat gelagat Batara Guru itu, para dewa menjadi khawatir jika dibiarkan maka skandal ini akan merusak keselarasan di kahyangan. Maka para dewa pun berunding mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan Nyi Pohaci Sanghyang Sri.

Untuk melindungi kebersihan Nyi Pohaci, sekaligus menjaga keselarasan rumah tangga sang penguasa kahyangan, para dewata sepakat bahwa tak berada perlintasan lain selain harus membunuh Nyi Pohaci.

Para dewa mengumpulkan segala jenis racun berbisa sangat mematikan dan segera membubuhkannya pada minuman sang putri. Nyi Pohaci segera mati keracunan, para dewa pun panik dan ketakutan karena telah melaksanakan dosa akbar membunuh gadis suci tak berdosa. Segera jenazah sang dewi dibawa turun ke bumi dan dikuburkan ditempat yang jauh dan tersembunyi.

Arca kuno Dewi Sri, terbuat dari Perunggu.

Hilangnya Dewi Sri dari kahyangan menciptakan Batara Guru, Anta, dan segenap dewata pun bersedih. Akan tetapi sesuatu yang aneh terjadi, karena kebersihan dan kebaikan budi sang dewi, maka dari dalam kuburannya muncul beraneka tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi umat manusia.

- Dari kepalanya muncul pohon kelapa.

- Dari hidung, bibir, dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah-rempah wangi dan sayur-mayur.

- Dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum

- Dari payudaranya tumbuh buah buahan yang ranum dan manis.

- Dari lengan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu yang bermanfaat; dari peralatan kelaminnya muncul pohon aren atau enau bersadap nira manis.

- Dari pahanya tumbuh berbagai jenis tanaman bambu.

- Dari kakinya mucul berbagai tanaman umbi-umbian dan ketela; berakhir dari pusaranya muncullah tanaman padi, bahan pangan yang sangat bermanfaat bagi manusia.

Versi lain menyebutkan padi berberas putih muncul dari mata kanannya, sedangkan padi berberas merah dari mata kirinya. Singkatnya, semua tanaman bermanfaat bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Sri Pohaci. Sejak ketika itu umat manusia di pulau Jawa memuja, memuliakan, dan mencintai sang dewi berpihak kepada yang benar hati, yang dengan pengorbanannya yang luhur telah memberikan berkah kebaikan dunia, kesuburan, dan ketersediaan pangan bagi manusia. Pada sistem kepercayaan Kerajaan Sunda kuna,

Nyi Pohaci Sanghyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi warga agraris. Sebagai tokoh luhur yang sangat dimuliakan, beliau memiliki berbagai versi kisah, banyakan melibatkan Dewi Sri (Dewi Asri, Nyi Pohaci) dan saudara laki-lakinya Sedana (Sadhana atau Sadono), dengan latar balik Kerajaan Medang Kamulan, atau kahyangan (dengan keterlibatan dewa-dewa seperti Batara Guru), atau kedua-duanya.

Di beberapa versi, Dewi Sri dihubungkan dengan ular sawah sedangkan Sadhana dengan burung sriti (walet). Ular sawah dikaitkan dengan sang dewi dan cenderung dihormati, mungkin karena kearifan lokal dan kesadaran ekologi purba yang memahami bahwa ular sawah memangsa tikus yang menjadi hama tanaman padi. Di banyak negara Asia lain seperti di India dan Thailand, berbagai jenis ular terutama ular sedok pun dihubungkan dengan mitos kesuburan sebagai pelindung sawah.

Dewi Sri selalu digambarkan sebagai gadis muda yang cantik, ramping tapi bertubuh sintal dan berisi, dengan wajah khas kecantikan alami gadis asli Nusantara. Mewujudkan perempuan di usia puncak kecantikan, kewanitaan, dan kesuburannya.

Hukum budaya istiadat adiluhung Jawa dengan selera estetis tinggi menggambarkan Dewi Sri seperti penggambaran dewi dan putri ningrat dalam pewayangan. Wajah putih dengan mata tipis menatap ke bawah dengan raut wajah yang anggun dan tenang. Serupa dengan penggambaran kecantikan dewi Sinta dari kisah Ramayana.

Pasangannya, Sedhana juga digambarkan dengan rupa bagus seperti Rama. Patung loro blonyo (berarti: "dua lapik atau dasar") yang menggambarkan sepasang lelaki dan perempuan, juga diibaratkan sebagai pasangan Dewi Sri dan Sedhana.


Tentang Ritual dan hukum budaya

Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan oleh warga Jawa, Sunda, dan Bali . Meskipun demikian banyak versi mitos serupa mengenai dewi kesuburan juga dikenal oleh suku bangsa lainnya di Indonesia. Meskipun kini orang Indonesia banyakan adalah muslim atau beragama hindu, sifat dasarnya tetap bernuansa animisme dan dinamisme.

Kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Sri terus berlanjut bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap menjadikan budaya tradisi ini. Sebagai contoh upacara selamatan atau syukuran panen di Jawa dikata Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad.

Warga tradisional Jawa, terutama pengamal segala sesuatu yang diajarkan Kejawen, memiliki tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Sri yang dikata Pasrean (tempat Dewi Sri) supaya memperoleh kemakmuran. Tempat khusus ini dihiasi dengan ukiran ular dan patung loro blonyo, kadang-kadang lengkap dengan peralatan pertanian seperti ani-ani atau arit kecil dan sejumput padi. Sering pula diberi sesajen kecil untuk persembahan bagi Dewi Sri. Patung loro blonyo dianggap sebagai perwujudan Sri dan Sedhana, atau Kamaratih dan Kamajaya, keseluruhan merupakan lambang kemakmuran dan kebahagiaan rumah tangga, serta kerukunan hubungan suami-istri.

Pada warga petani di pedesaan Jawa, berada tradisi yang melarang mengganggu dan mengusir ular yang masuk ke dalam rumah. Malah ular itu diberikan persembahan dan dihormati hingga ular itu pergi dengan sendirinya, tradisi ini menganggap ular adalah pertanda berpihak kepada yang benar bahwa panen mendatang akan berhasil melimpah. Pada upacara slametan menanam padi juga melibatkan dukun yang mengelilingi desa dengan keris berkekuatan gaib untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam.

Warga Sunda memiliki rangkaian perayaan dan upacara khusus yang dipersembahkan untuk Dewi Sri. Contohnya upacara Seren Taun yang digelar tiap tahun oleh warga Baduy, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, Cigugur, Kuningan, dan berbagai komunitas tradisional Sunda lainnya.

Tradisi ini ditelusuri sudah dilaksanakan sejak zaman Kerajaan Sunda purba. Upacara digelar untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam serta padi yang akan dipanen. Pada perayaan ini warga Sunda menyanyikan beberapa pantun atau kidung seperti Pangemat dan Angin-angin. Kidung nyanyian ini dimaksudkan untuk mengundang Dewi Sri supaya sudi turun ke bumi dan memberkati bibit padi, supaya para petani sehat, dan sebagai upacara ngaruwat atau tolak bala; untuk menangkal kesialan atau nasib buruk yang mungkin dapat menimpa para petani.

Pada ketika memanen padi pun warga tradisional Sunda tidak boleh menggunakan arit atau golok untuk memanen padi, mereka harus menggunakan ani-ani atau ketam, pisau kecil yang dapat disembunyikan di telapak tangan. Warga Sunda percaya bahwa Dewi Sri Pohaci yang berjiwa halus dan lemah lembut akan ketakutan melihat senjata tajam akbar seperti arit atau golok. Selain itu berada kepercayaan bahwa padi yang akan dipanen, yang juga perwujudan sang dewi, harus diperlakukan dengan hormat dan lembut satu persatu, tidak boleh dibabat secara kasar begitu saja.

Warga petani di Bali biasanya menyediakan kuil kecil di sawah untuk memuliakan Dewi Sri. Kuil kecil ini sering kali diberi sesajen sebagai persembahan supaya Dewi Sri sudi melindungi sawah mereka dan mengkaruniai kemakmuran dan panen yang berlimpah. Pada sistem kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Sri dianggap sebagai perwujudan atau perpaduan beberapa dewi-dewi Hindu seperti dewi Lakshmi, Dewi, dan Shri (gabungan sifat sakti dewi Hindu). Di Bali Dewi ini dianggap sebagai dewi padi, kesuburan, penjamin keberhasilan panen, serta kemakmuran dan pelindung keluarga.

Dalam bahasa Indonesia istilah Sri juga dipakai sebagai kata sandang untuk menyebut orang yang dihormati, misalnya: Sri Baduga Maharaja, Sri Paduka Raja, Sri Ratu, Sri Sultan, Sri Paus, Sri Krishna, Sri Rama dan sebagainya.(**)

---------------------------------

Sumber :

Early Mythology - Dewi Sri,  Indonesian, Mitos Nyi Pohaci/Sanghyang Asri/Dewi Sri, Galamedia (Indonesian), Angklung Gubrag, Penghormatan kepada Dewi Sri, dan berbagai sumber.

0 Response to "Dewi Sri, Dari Cerita dan Mitos yang Berkembang di Masyarakat dulu hingga sekarang"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel