Mengupas tentang dunia spiritual dan lelaku didalamnya, sebagai warisan dari para leluhur. Tentang : tenaga dalam, daya prana, metafisika, penyembuhan dan Mbabar jiwa ma'rifat jati

Pusat Pengajaran Keramat di Masa Awal

Masjid Ampel.

Martin van Bruinessen mengutip bahwa “dugaan saya lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-18, tidak berarti bahwa buku kuning tidak terbukti. Kitab-kitab klasik diterjemahkan Arab sudah diketahui dan dipelajari pada abad ke-16 ”(KKPT, 1994: 27).
Ini dapat diartikan sebagai pesantren-pesantren yang ada di Jawa, atau pusat-pusat pendidikan yang ada, tentu saja sudah mengenal kitab-kitab klasik itu, melalui kesarjanaan para penyebar Islam awal.

Belum lagi, soal kitab-kitab yang menopang tradisi keilmuan Islam, menurut Martin yang ditulis pada abad ke-10 hingga ke-15, dan memerlukan kompilasi para penyebar Islam yang diambilnya dari pusat-pusat dunia Islam, tentu saja telah diterima kitab-kitab itu. Ini harus dibahas juga soal pencetakan, arus perdagangan, dan teknik pengembalian yang tidak semasif pada saat sekarang, sehingga tradisi hafalan, dan menulis sambil berjalan bersama-sama, memahami juga tergantung pada media teknik menulisnya ini, yang saat ini belum masif.

Ada beberapa pusat pembaharuan Islam di masa awal Islam Jawa yang sangat diperuntukkan bagi umat Muslim Jawa dan tasawuf umum di kultur pesantren hingga saat ini. Pusat-pusat di sini, di Mantingan (Syekh Jumadil Kubro), Gunung Sembung dan Giri Amparan Jati (Datuk Kahfi dan Sunan Gungjati), Ampel Denta (Sunan Ampel), Kadilangu (Sunan Kalijaga), dan Alang-Alang Wangi (Abdul Kahfi Awwal). Tentu saja, pusat kerajaan seperti Demak dengan masjid dan imam-imam yang memegangnya, seperti dirinci oleh de Graaf dan TH Pigieaud di dalam karyanya, juga memainkan peran.

Selain tempat itu tentu juga masih banyak, tetapi tempat perdebatan disebut, karena jasanya di antara Islam di tempat masing-masing, sangat penting, sehingga membuat jaringan, murid-murid, dan dikenal hingga saat ini. Pusat-pusat ini, perlu dibahas sebagai pusat mendidik, manusia-manusia Jawa menjadi manusia merdeka, berspiritual, berkebudayaan, dan mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad. Pusat-pusat itu di persetujuan:

Mantingan

Mantingan (Pamantingan), tempatnya sekarang ada di Jepara, adalah tempat keramat di masa lalu, yang menurut cerita tutur, seperti disebut de Graaf dan Th Pigeaud (2003: 276), digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk bertirakat. Karena bertirakat di Mantingan, Sunan Kalijaga datang terlambat waktu mendirikan masjid Demak, dan kurang pagi untuk datang ke Demak, sehingga tiang bagian Sunan Kalijaga harus dikerjakan agak terlambat, dengan menggunakan balok-balok kayu. Sebelum zaman Islam, Pemantingan juga melibatkan salah satu tempat keramat, di antara tempat-tempat keramat yang ada di Jawa, yang menjadi kediaman roh-roh penting di Jawa.

Mantingan ini, di awal Islam Jawa, adalah tempat kediaman Syaikh Jumadil Kubro, yang diterjemahkan sebagai moyang para wali di Jawa, dan jika disebut menjadi pusat penyebaran Islam, sangat masuk akal. Dalam tradisi babad di Jawa Barat, seperti disebut Martin van Bruinessen (KKPT, 1999: 235), Syaikh Jumadil Kubro disebut sebagai moyang dari Sunan Gunung Jati. Kronika Banten dan Cirebon memberikan silsilah yang sedikit berbeda tentang Syaikh Jumadil Kubro, begini: Nabi Muhammad, Ali dan Fathimah, Husain, Zainal Abidin, Ja'far Shodiq, Zainal Kubro (atau Zainal Kabir), Jumadil Kubro, Jumadil Kabir, Sultan Bani Israil , Sultan Hut dan Ratu Fathimah, dan Muhammad Nuruddin (Sunan Gunung Jati). Dalam silsilah ini ada nama Syaikh Jumadil Kubro.

Dalam Kronika Gresik , yang diringkas oleh Wiselius, dan dikutip Martin, Jumadil Kubro disebut sebagai kakek dari wali lain, Sunan Giri Pertama (Raden Paku); dalam Babad Cirebon , Syaikh Jumadil Kubro disebut bukan hanya moyang dari Sunan Gunung Jati, tetapi juga Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga; dan sebuah silsilah tarekat Syathariyah abad ke-17, Syaikh Abdul Muhyi di Pamijahan di Tasikmalaya Selatan, menyebut pula silsilah Maulana Malik Ibrahim dan Jumadil Kubro (Kosasih, 1938: 137), yang tetap dapat digunakan dengan penyebar Islam awal ini.

Dalam legenda di Jawa, Syaikh Jumadil Kubro juga dikenal sebagai wali yang dipertanyakan di Jawa pada zaman Majapahit, dan sering bertapa di banyak gunung. Di antara petilasannya ada di Gunung Turgo Kawastu, Yogyakarta, dekat Merapi, sehingga dibuat cungkup makam penghromatan di daerah itu; demikian juga di daerah Bergota, Semarang selatan; Juga di daerah antara tambak Pesisir pantai yang disebut Terbaya, juga ada cungkup makam Syaikh Jumadil Kubro; di daerah Semarang juga, yaitu di Sampangan, juga ada puing-puing, petilasan Syaikh Jumadil Kubro; di makam muslim Tralaya yang lebih baru ditemukan, dan dianggap penting, juga dianggap sebagai makam Syaikh Jumadil Kubro. Raffles, seperti dikutip Martin, menyebut, melalui legenda di Gresik, Raden Rahmat pertama-tama datang ke Palembang, lalu ke Majapahit, dan mendarat di Gresik.`abid yang menetap di Gunung Jali (KKPT, 1999: 239-240).

Sekarang, Mantingan ada di Kecamatan Tahunan, Jepara, menjadi tempat berdirinya masjid kuno dan pemakaman Ratu Kalinyamat dan Pemeliharaan (Pangeran Hadirin). HJ de Graaf dan Th Pigeaud mengutip: “Ia (Ratu Kalinyamat) dimakamkan di dekat suami cinanya di pemakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas permintaannya sendiri serta ia minta janda pada 1549, mungkin lebih 30 tahun sebelum ia datangi” (KIPDJ, 2003 : 120).

Di pemakaman Mantingan itu, terletak masjid kuno yang didirikan tahun 1481 Saka atau tahun 1559 M, berdasarkan petunjuk dari candra sengkala yang terukir di mihrab Masjid Mantingan berbunyi rupa brahmana wanasari. Menurut HJ Degraaf dan TH Pigeaud (KIPDJ, 203: 309) tahun 1559 adalah periode setelah meninggalnya Pangeran Prawata dan Ki Kalinyamat (Sunan Mantingan / Pangeran Hadirin), dan periode kekuasaan Ratu Kalinyamat di Jepara. Pangeran Hadirin atau Ki Kalinyamat ini meninggal tahun 1549; dan Masjid Mantingan dikenal sebagai masjid besar yang dimiliki setelah Demak. Di sisi masjid adalah pemakaman Mantingan, diziarahi orang yang paling banyak, di yang dimakamkan adalah: Sunan Mantingan (Pangeran Hadirin), Ratu Kalinyamat, Raden Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar), dan para orang terdekat Ratu Kalinyamat. Tempat ini sekarang masih menjadi tempat tirakat para muslim Jawa.

Gunung Sembung / Giri Amparan Jati

Gunung Sembung dan Bukit Giri Amparan Jati, adalah tempat orang keramat penyebar Islam awal bernama Datuk Kahfi, atau biasa disebut Syaikh Nurjati dan Syarif Hidayatullah. Dari berbagai cerita dalam naskah Jawa Barat, seperti Negara Khretabumi, Carita Purwaka, Caruban Nagari, Babad Cerbon, dan Perjuangan Walisongo Babad Cirebon (versi H. Mahmud Rais dan Sayidil Anam), Syaikh Datuk Kahfi adalah guru utama dalam dialog Islam di Jawa Barat, dan pentingnya guru dalam hal tasawuf di awal Islam Jawa, bagian barat.

Syaikh Datuk Kahfi, adalah anak dari Saikh Datuk Ahmad, anak dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, anak dari Syaikh Abdul Qodir, anak dari Amir Abdullah Khannudin, dan dari Kanjeng Nabi Muhammad. Waktu muda, Datuk Kahfi meninggalkan Malaka menuju Baghdad, dan menikah dengan Syarifah Halimah, bibi Sultan Sulaiman (ada yang memanggilnya Sultan Sulaiman). Dari Baghdad, Datuk Kahfi memilih pergi ke Jawa dan mukim di Gunung Amparan Jati, tidak jauh dari pelabuhan Muara Jati, milik Kerajaan Pajajaran, sekitar tahun 1420. Datuk Kahfi mendapat ijin pengusa pelabuhan yang diberi Ki Gedeng Tapa / Ki Mangkubumi, untuk pergi di daerah Pesambangan, membingungkan di Gunung Sembung.

Gunung Sembung kemudian menjadi pusat pendidikan dan menyebarkan Islam, dan karena dalam silsilah tarekat Syathariyah awal, berasal dari Datuk Kahfi, posisi Datuk Kahfi menjadi sangat penting dalam kesarjanaan tasawuf di masa awal. Pada masa awal, di antara murid-muridnya, adalah keluarga bangsawan Pajajaran sendiri, yaitu Walangsungsang (Ki Samadullah / Sri Mangana) yang dibuka Cirebon / Caruban) dan Rara Santang; dan murid-murid lain di dalam pertempuran Datuk Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar), Syarif Hidayatullah (di Girim Amparan Jati), Sunan Kalijaga, dan para wali lain. Dengan demikian, Gnung Sembung, menjadi pusat ibadah yang menerima, dan menjadi pusat pengiriman santri-santri untuk berdakwah di daerah Jawa Barat.

Sekarang, pemakaman di Gunung Sembung yang tidak jauh dari Giri Amparan Jati, termasuk makam Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nur Jati), yang berdekatan dengan makam Sunan Gunung Jati di Giri Amparan Jati. Lokasinya terpisah dengan jalan raya (Jl. Raya Cirebon Indramayu). Sebelum masuk ke gerbang makam Syaikh Datuk Kahfi, di sebelah kiri ada makam Syekh Ki Gede Jati, di bawah pohon besar, yang dimaksudkan sebagai salah satu murid Syaikh Datuk Kahfi. Tempat ini sekarang masih sering digunakan untuk tempat tirakat para muslim Jawa.

Ampel Denta / Kembang Kuning

Ampel Denta adalah pusat penyebaran Islam di Surabaya, sedangkan Sunan Ampel menjadi guru spiritual yang sangat terhormat. Di kitab-kitab Babad Tanah Jawi, dan buku sejarah Jawa, tempat ini menjadi pusat menuntut ilmu dari para wali di Jawa. Di antara murid-muridnya adalah wali-wali keramat yang dikenal di Jawa, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah, Syarif Hidayatullah, dan banyak lagi yang lain.

Sunan Ampel berasal dari Champa, dan masih keponakan Dwarawati, salah satu istri raja Majapahit. Kunjungannya ke Jawa, selain untuk membicarakan Islam juga untuk menengok putri Dwarawati, yang masih bibinya. Sebelum sampai di Majapahit, mendarat di Tuban, dan mengunjungi para tokoh penting, Syaikh Jumadil Kubro, yang disebut di atas, di Gunung Jali. Kedatangannya disambut saudara tuanya bernama Ali Murtadlo (Ali Musodo), dan kemenakannya bernama Abu Hurairah (Raden Burereh). HJ De Graaf dan TH Pigeaud (2003: 179) menyebutkan, wali ini kemudian diberi tanah oleh Majapahit dan tinggal di Surabaya, serta menjadi imam masjid di Surabaya; dan wafat tak lama sebelum majapahit runtuh.

Dalam perjalanannya ke Surabaya, Sunan Ampel melewati daerah Kembang Kuning, tempat tokoh lokal bernama Ki Wiryo Saroyo / Ki Wirojoyo, dan tokoh ini kemudian mengikuti petunjuk Sunan Ampel, menjadi muslim. Anak Ki Wirojoyo, kemudian dinikahkan dengan Sunan Ampel bernama Nyi Mas Karimah, yang kemudian melahirkan: Murtosiyah (dinikahkan dengan Sunan Giri) dan Murtosimah (dinikahkan dengan Raden Fatah, adipati Demak). Di Kembang Kuning, Sunan Ampel dan mertuanya membangun Masjid Kembang Kuning, dan makamnya sekarang dikenal dengan Makam Mbah Karimah, yang juga banyak diziarahi.

Setelah dari Kembang Kuning, Sunan Ampel pergi ke Ampel Denta dan membangun pusat penyiaran Islam, menjadi imam masjid dan bergelar Pangeran Katib, melalaui restu dan mendukung penguasa Surabaya, Arya Lembu Sora. Arya Lembu Sora adalah penguasa lokal yang sudah beragama Islam, dan menikah dengan Arya Teja, penguasa Tuban. Sementara anak memerintah Tuban ini, dinamai Nyi Ageng Manila dinikahkan dengan Sunan Ampel, sehingga kompilasi di Surabaya, sejatinya Sunan Ampel bertemu dengan Lembu Sora, yang merupakan mertua Arya Teja (penguasa Tuban). Sunan Ampel dikenal memiliki anak yang banyak dengan istri, demikian jaringan berkawin-mawin dengan para bangsawan lokal. Murid-murid yang membutuhkan ilmu di Ampel Denta juga semakin banyak.

Akan tetapi setelah berdirinya kemaharajaan kerajaan Islam yang berpusat di Demak, di sekitar pesisir utara Jawa, pusat penyebaran Islam banyak beralih di Giri Kedaton yang berpusat di Gresik, melalui tokoh-tokoh spiritual sekaligus raja lokal, Sunan Giri. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Surabaya pun memudar, terutama setelah Mataram menggempur dan menghancurkan Surabaya. Akan tetapi sebagai tempat keramat, makam Sunan Ampel masih sering dikunjungi oleh para peziarah muslim.

Sunan Ampel dimakamkan di dekat masjid Ampel, yang sekarang masuk wilayah keluarahan Ampel, kecamatan Semampir, Surabaya. Makam Sunan Ampel ada di belakang Masjid Sunan Ampel. Di samping ada makam-makam lain, di sebelahnya ada Nyi Ageng Manila (Dewi Condrowati), dan juga ada makam Mbah Sonhaji. Makam Sunan Ampel, sampai sekarang masih menjadi tempat keramat untuk tirakat yang dilakukan para muslim Jawa.

Kadilangu

Kadilang terletak di Demak, merupakan kediaman dan pemakaman Sunan Kalijaga; Yang sekarang adalah nama Kelurahan di Kecamatan Demak, yang ada di sana Masjid Sunan Kalijaga, yang didirikan pada 1532, dan pemakaman keluarga Sunan Kalijaga. Di masa lalu, kekeramatan tempat ini, selain menjadi pusat penyiaran Islam, melalaui ilmu-ilmu hikmah yang dimiliki Sunan Kalijaga dan tempat pemakamannya, juga menjadi tempat pewarisan tinggalan Sunan Kalijaga, melalui bantuan; dan menjadi pusat jejak-jejak dakwah dengan murid-murid yang tersebar cukup banyak. Di antara muridnya adalah Sunan Tembayat, yang kediamannya untuk menyebarkan Islam dan makamnya ada di Jabal Kat, juga menjadi tempat keramat dan disetujui oleh keluarga Pajang dan Mataram.

. Kekeramatan Sunan Kalijaga di pembaharuan dengan pembangunan masjid Demak, melalaui tiang terakhir, yang dibangun dengan balok-balok, karena ledatangannya agak terlambat setelah bertapa di Mantingan; Juga terkait dengan baju Antakusuma (Kiai Gundil) yang diperoleh melalui tirakat Sunan Kalijaga, yang menurut HJ de Graaf dan TH Pigieaud diwariskan kepada Senapati melalaui ahli warisnya, sehingg Senopati dapat digunakan Pangeran Madiun, pada tahun 1590.

Baju Antakusumo ini kemudian dianggap sebagai pusaka keraton Mataram, hingga pada Mangkurat III di Karatasua, yang dipindahkan ke Srilanka oleh Kumpeni Belanda. Ketika pusaka-pusaka Mataram dibawa Mangkurat III, termasuk Baju Antakasumuma, menurut Pakubuwono 1, seperti disebut dalam Babad (Meinsma, hlm. 566; dan de Graaf Th Pigeaud, KIPDJ, 2003: 35), maka oleh karena itu dapat disebut baru, yang disebut pusaka keramat Sepenuhnya ada dua, yaitu Masjid Demak dan Pemakaman Kadilangu. Melalui Keramat Kadilangu pula, Mataram sampai Kerajaan di Kartasura, mengambil simbol-simbol spiritual, dengan merekrut para ahli waris Sunan Kalijaga, sebagai guru spiritual.

Sejarah Kadilangu, berdasarkan Serat Kanda , bermula kompilasi Pangeran Trenggana, dipanggil Sunan Kalijaga, dari Cirebon untuk diselesaikan di Kadilangu, Demak (KIPDJ, 2003: 46). Para ulama Kadilangu, dalam membangun hidup bersumber dari tanah perladangan, yang dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak (KIPDJ, 2003: 111), dan dapat dianalisis sebagai perdikan. Menurut cerita tutur Mataram, tuah keramat Kadilangu, bukan hanya sampai di Demak saja, tetapi juga sampai di Pajang dan Mataram. Di Pajang, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu; dan Sunan Kalijaga juga menjadi penghulu masjid di Demak setelah Sunan Kudus; dan anak peremepuan Sunan Kalijaga diambil permasuri muda oleh Sultan Trenggana; dan anak mereka, perempuan, dinikahi Jaka Tingkir. Sementara Senopati menjadi menantu Raja Pajang.

Masjid Kadilangu sendiri, dibangun, menurut informasi dari Serat Lokajaya (AIBJ, 149), dalam XII Kinanti (33): Berganti yang diceritakan, yaitu Pangeran Wijil. Ia dalam membuat masjid telah jadi. ” Pangeran Wijil oleh Serat Lokajaya adalah Joko Sahida, anak Sunan Kalijaga yang pertama, dan pengasuh Pesantren Kadilangu yang menjadi tumpuan para siswa, beristrikan cucunya Sunan Giri. Serat Lokajaya menggambarkan begini: “Jumatan di masjid Kadilangu sangat agung. Yang datang berbagai santri dari daerah pantai dan luar negeri banyak. Pangeran Wijil sangat tekun mengajar agama ”(XII Kinanti, No. 37).

Di antara generasi keramat Kadilangu yang berperan penting sebagai bagian dari perjuangan dan kemenangan, setelah masa Demak dan Pajang, di Mataram adalah Pangeran Adilangu (II, Sunan Adilangu) yang menulis cikal bakal Babad Tanah Jawi , dengan tulisan yang bertanggal 1772; dan di Kartasura adalah Pangeran Wijil Kadilangu, yang menulis Susuluk Wangsit Gaib Sirrullah (21 pada), Susuluk Besi (32 pada), Susuluk Saking Kitab Condra (76 pada), yang masuk dalam serat Serat Suluk Jaman Kraton Ndalem ing Surakarta, yang meninggal oleh Nancy K Florida, dalam Suluk, Puisi Mistis Muslim Jawa. Sekarang ini, pemakaman Sunan Kalijaga di Kadilangu, mendesak tembok besar dengan ukiran kayu; dan di luarnya ada makam jirat Mpu Supo (adik ipar sunan Kalijaga) dan putranya, Jaka Sura; dan ada 9 blok dengan 175 makam yang merupakan keluarga Sunan Kalijaga. Tempat ini juga masih sering digunakan tirakat oleh para muslim Jawa.

Alang-Alang Wangi / Pesantren Al-Kahfi

Letaknya di Kebumen dan menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat penting di wilayah selatan Jawa Tengah. Di wilayah ini, sekarang di Sumberadi Kebumen, terdapat penyebar Islam yang bernama Abdul Kahfi Awwal (yang dapat disesuaikan dengan Abdul Kahfi ats-Tsani), yang dapat dikenali: pertama , ada prasasti batu berbobot 9 kg di pondok Al-Kahfi batu zamrud Siberia ( emerald fuchsit ), berhuruf Jawa dan Arab berdampingan, berangka tahun 25 Sya'ban 879 atau 4 Januari 1475 M; keberadaan makam Abdul Kahfi Awwal di Lemah Lanangan, dan para pemenangnya yang sekarang menjadi Pesantren Al-Kahfi.

Abdul Kahfi Awwal sendiri dikenal sebagai laqobnya, sedangkan namanya adalah Syaikh Muhammad Ishom al-Hasani, yang lahir pada 15 Syaban 827 H / 1424 di Jamhar, Syihr, Hadhramaut. Beberapa tulisan yang membahas tokoh ini memuat judul Al-Kahfi oleh guru-gurunya, karena sering menyendiri di gua; dan pergi ke Jawa untuk pindah Islam. Salah satu versi dikemukakan Pengurus Yayasan Pesantren Al-Kahfi, Hidayat Aji Pambudi ( m.republika.co., 30 April 2007 ), setelah datang ke Jawa, dia diperintah oleh Sultan Demak agar menjadi Islam di selatan Jawa.

Desa tempat tinggal Syaikh Abdul Kahfi Awwal sebelumnya dipimpin oleh Resi Dara (beragama Hindu), bernama Alang-Alang Wangi. Pengaruh jaringan ini, sementara mentransfer dengan Abdul Kahfi ats-Tsani, menyebar terutama di daerah seperti Cilacap, Banyumas, dan bahkan Purworejo, dan lain-lain daerah di Jawa Tengah bagian selatan, tentu saja hanya perlu dilihat saat ini adalah pusat penyebaran Islam yang sangat penting. Syaikh Abdul Kahfi Awwal datang ke Jawa dan mendarat di pantai Karang Bolong, Buayan, Kebumen pada tahun 1448 (dan wafat pada 15 Syaban 1018/12 November 1609). Di daerah ini, Syaikh Abdul Kahfi mampu mengislamkan Resi Dara di Candi Karanganyar, Resi Condro Thirto dan Danu Thirto dari Candi Wulan, dan Candi Mulyo, lalu membangun basis di daerah yang sekarang dikenal Sumolangu.

Setelah itu, Syaikh Abdul Kahfi melakukan perjalanan ke Timur, sampai ke Surabaya, dan disebut bertemu di Ampel dengan Sunan Ampel (sesuatu yang belum dapat dipastikan). Setelah selesai untuk pergi ke Demak, di Sayung, untuk mengumpulkan basis persetujuan; lalu mendirikan pesantren di Kudus. Konon, tempat yang menjadi jejak Abdul Kahfi Awwal di sini dikenal orang dengan Masjid Bubrah (sesuatu yang sekarang juga diperdebatkan). Setelah itu baru membangun basis di Kebumen.

Dalam Buku Panduan Ziarah Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, membantu istri Abdul Kahfi Awwal adalah Dewi Nur Thayyibah, anak Sultan Demak (Raden Fatah), yang juga sering berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga murid-muridnya lebih sering menggunakan di berbagai tempat. Wafat di tengah perjalanan dari Sumolangu-Demak, sebelah timur kota Semarang Demak. Satu versi menyebutkan bahwa Dewi Nur Thayyibah dimakamkam di Kadilangu, setelah para muridnya bermusyawarah; dan versi kedua, menyebutkan ada di Surakarta, di Pemakaman yang sekarang dikenal dengan Pemakaman Kraton Lama, Pracimaloyo, Makam Haji, Kecamatan Pajang, Surakarta.Tahun wafatnya pada 9 Dzul Hijjah 1015, atau bertepatan dengan 1607 M.

Pesantren Al-Kahfi ini, menjadi terkenal pada masa Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud bin Muhammad al-Marwah), yang lahir pada tahun 1239 H / 1824, dan wafat pada 1 Jumadil Awal 1334 H / 17 Maret 1915. Abdul Kahfi Awwal dengan Abdul Kahfi ats-Tsani ada jarak yang cukup panjang melewati beberapa orang Abdul Kahfi Awwal (Muhammad Ishom al-Hasani), Muhtarom, Jawahir, Muhammad Yusuf, Hasan, Abdul Hannan, Zainal Abidin, Muhammad Yusuf, Muhammad al-Marwah, Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), dan kemudian, sampai kepada Kyai Sumolangu.

Pesantren ini, yang sekarang dikenal sebagai pusat Tarekat Sadziliyah, yang mulai dikembangkan sejak putra Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), yang bernama Abdurrahman al-Hasani. Ketika belajar di Mekah, Syaikh Andurrahman belajar tarekat Sadziliyah untuk Syaikh Nahrowi Muhtarom al-Makki, yang kemudian tinggal di Hijaz. Abdurrahman diangkat sebagai yang masih muda bernama Mahfduz al-Hasani, menjadi mursyid tarekat Syadziliyah, yang mengasuh Pesantren Al-Kahfi sejak tahun 1925, sepulang Mahfudz nyatri di pesantren Watu Congol. Syaikh Mahfudz Abdurrahman al-Hasani inilah yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu, yang disusun dan menjadi panglima tinggi AOI (Angkatan Oemat Islam) di masa penjajahan Belanda, dengan anggota tidak lebih dari 10.000 orang, seperti wilayah Purbalingga, Kebumen Timur, Wonosobo dan Purworejo.

Liku-liku AOI, sampai wafatnya Syaikh Mahfdzu Abdurrahman yang ditembak pada tahun 1950, dan secara sepihak disetujui pemberontak, menjadi jalan Pesantren Al-Kahfi beralih kevakuman. Meski begitu, Tarekat Sadziliyah dapat bertahan di bawah pimpinan Syaikh Thoifur al-Hasani (adik kandung Syaikh Mahfudz), lalu Khanif bin Mahfudz, hingga generasi berikutnya, kompilasi yang dipimpin oleh KH. Afifuddin Khanif al-Hasani, sejak 1992, pesantren ini semakin berkembang yang cepat.

Sekarang, makam Syaikh Abdul Kahfi Awwal ada di Lemah Lanangan dengan memecahkan tembok sederhana. Para peziarah muslim Jawa, sering bertirakat di tempat ini. Saat penulis berkunjung ke makam ini, malam hari, sebagian besar perziarah tampak melakuklan tirakat di makam Lemah Lanangan ini dengan khusuk.


// Kutipan sejarah

0 Response to "Pusat Pengajaran Keramat di Masa Awal"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel