Mengupas tentang dunia spiritual dan lelaku didalamnya, sebagai warisan dari para leluhur. Tentang : tenaga dalam, daya prana, metafisika, penyembuhan dan Mbabar jiwa ma'rifat jati

Menelusur Sejarah Dusun Mangir


Mangir adalah dusun tua yang cikal bakalnya sudah ada sejak abad 8 pada era Mataram Kuno. Pada pertengahan abad 15 Dusun ini adalah daerah perdikan (otonomi khusus) di bawah kepemimpinan Ki Megatsari saat Kerajaan Majapahit menjelang runtuh.

Tanah perdikan ini milik Ki Megatsari yang diberikan oleh Brawijaya V. Karena sejak dahulu kawasan ini bernama Mangir, Ki Megatsari ini dikenal sebagai Ki Ageng Mangir I. Kedatangannya ke wilayah ini sebelum Demak (Kerajaan Mataram) muncul.

Ki Ageng Mangir memiliki seorang anak perempuan yang menikah dengan Raden Jaka Wanabaya putra Lembu Amisani seorang bangsawan Majapahit putra Brawijaya V yang berhasil meloloskan diri dari pralaya keraton Majapahit di Trowulan.

Pangeran Lembu Amisani, melarikan diri beserta isteri dan seorang anak laki-lakinya bernama Raden Jaka kearah barat dengan menunggang kereta dan mengambil jalur alternative, menerobos hutan jati.

Setelah sampai disimpang tiga, Pangeran Lembu Amisani mengambil jalan kekanan kearah Pranaraga untuk menemui saudaranya Pangeran Lembu Amiluhur.
Setelah tiga hari lamanya di Kadipaten, Pangeran Lembu Amisani mohon diri dan melanjutkan perjalanan ke arah barat menyusuri hutan siang dan malam dan akhirnya sampai ke dusun Mangir.

Sesampai di dusun Mangir Pangeran Lembu Amisani diterima oleh Ki Megatsari dan menikahkan putranya Raden Jaka Wanabaya dengan putri Ki Megatsari sehingga tampuk kepemimpinan Mangir menurun kepada Jaka Wanabaya, yang kelak menjadi Ki Ageng Mangir II atau dikenal juga sebagai Ki Ageng Mangir Wanabaya I.

Kekuasaan Mangir kala itu meliputi Kademangan Pajangan, Kademangan Tangkilan, Kademangan Pandak, Kademangan Paker, Kademangan Jlegong.

Ki Ageng Mangir Wanabaya I menikah dengan putri Ki Megatsari yang konon berasal dari Juwana. Dari perkawinan tersebut lahirlah Ki Ageng Mangir Wanabaya II.

Di samping itu, Ki Ageng Mangir Wanabaya I juga mempunyai anak dari seorang gadis, putri dari Demang Jalegong (daerah Sentolo). Perkawinan Ki Ageng Mangir Wanabaya I dengan Rara Jalegong konon melahirkan seorang anak yang berupa ular (demikian disebut-sebut dalam babad dan cerita tutur).

Anak yang kelak terkenal dengan nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tumbak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.

Dalam persepsi Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Drama Mangir, Baruklinting dipersonifikasikan sebagai pemuda desa yang tidak bertampang ningrat tetapi pandai menghimpun massa dari daerah Merapi sampai Rawapening serta ahli strategi perang.
Ki Ageng Mangir Wanabaya II kelak kawin dengan seorang gadis, putri dari Demang Paker.

Dari perkawinan ini lahirlah Ki Ageng Mangir Wanabaya III.
Ki Ageng Mangir Wanabaya III inilah yang kelak meneruskan sifat-sifat ayah maupun kakeknya untuk tidak tunduk pada pemerintahan Pajang maupun Mataram, dialah yang kemudian mewarisi tumbak Kiai Baru.

Bagus Wanabaya atau Ki Ageng Mangir Wanabaya III, Bagus Wanabaya kendati masih berusia muda, tetapi suka mempelajari ilmu kasepuhan yang beraliran ajaran Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.

Awam umumnya mengenal bahwa makam Ki Ageng Mangir berada di kompleks makam Kotagede. Akan tetapi sebagain kecil masyarakat meyakini bahwa makam Ki Ageng Mangir berada di Dusun Saralaten, Sidakarta, Godean, Sleman, Yogyakarta.

Dalam cerita tutur dikatakan bahwa jenazah Ki Ageng Mangir dikeluarkan melalui pintu belakang Keraton Mataram lalu dibawa oleh Demang Tangkilan pulang ke daerahnya. Oleh Demang Tangkilan inilah jenazah Ki Ageng Mangir dikuburkan di wilayahnya.

Dusun Mangir terletak disebelah timur Sungai Progo dan disebelah barat sungai Bedog yang berhulu di kaki gunung Merapi dan berakhir/bersatu di sungai Progo, tepatnya di selatan dusun Mangir. Pada masa Ki Ageng Mangir Wanabaya III, sungai ini menjadi benteng alam pertahanan dari serangan pasukan Panembahan Senopati.

Pada awal tahun 1500an Mangir adalah pusat pertapaan dan pendidikan calon brahmana dan pandita. Ada lebih dari 90 pertapa menempa diri di Mangir. Terdapat delta sungai yang memungkinkan latihan-latihan di air seperti kungkum, ngeli (menghanyutkan diri), dan sebagainya.
Sekitar akhir tahun 1500an, seorang pendeta Tantrayana dari Tibet dalam perjalanan menuju Borobudur terpaksa menetap di Mangir setelah kapalnya kandas di dekat Mangir.

Pendeta itu kemudian menikah dengan keturunan Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Maka tidak heran jika di Mangir ajaran leluhurnya adalah ajaran dharma dari dua aliran besar waktu itu yaitu Kasogatan dan Kasiwan yang kelak banyak dikenal sebagai ajaran Shiwa-Budha.

Terdapat beberapa situs di Dusun Mangir, antara lain Situs Arca Nandi Mangir Lor, Situs Watu Gilang tempat Ki Ageng bersamadi di bawah pohon randu besar, Situs Lingga Yoni Mangir, Petilasan Ki Ageng Mangir Wanabaya (Pura Dalem Mangir, bangunan baru yang dibuat seorang warga dari Bali atas petunjuk mimpi).
Begitu juga dengan salah satu rumah warga di Mangir Lor yang di tahun 2015 atas petunjuk leluhurnya (Ki Ageng Mangir) mendirikan tempat persembahyangan yang diberi nama "maha lingga padma bawana."

Sri Jaya Nara, seorang guru besar Jnana Buda Siwa dari Bali yang sedang meditasi di Parangkusumo mendapat petunjuk agar pergi ke Mangir Lor untuk menyelaraskan diri dengan energi luar biasa yang memancar dari tempat tersebut.
Bagi yang peka, mengunjungi situs-situs di Mangir pasti dapat merasakan energi dahsyat itu, energi untuk membangun kehidupan yang harmonis dan selaras.(*)




Sumber tulisan :
Supadjar, Damardjati.2015. “Sebuah Penelusuran Babad Tanah Jawa KI AGENG MANGIR Cikal Bakal Desa Tertua Di Bantul”.
Bantul: Yayasan Projo Taman Sari Bantul.
Wijaya, Bolan Kunthi. 2015. Ki Ageng Mangir 1. Bantul

0 Response to "Menelusur Sejarah Dusun Mangir"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel